Pada permulaan PT Abdi Pamungkas(PT AP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Palembang itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT Abdi Pamungkas adalah Azis Ismail, yang tinggal di Manggarai-Jakarta.
Azis memanfaatkan ruangan seluas 794,31 M2 Lantai III itu untuk menjual Baju Muslim dengan nama Toko Barokah. Enam bulan berlalu Azis menempati ruangan itu, pengelola AP mengajak Azis membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan. Azis bersedia membayar semua kewajibannya pada PT AP, tiap bulan terhitung sejak Juni 1998 s/d 30 Mei 2008 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 15 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT AP dengan Azis dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1998.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Azis ternyata tidak pernah dipenuhi, Azis menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola AP tidak pernah dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak AP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Azis akan dibicarakan kembali di akhir tahun 2001. Namun pengelola AP berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 2001, Azis seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT AP. Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Azis tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola AP, yang mengajak Azis meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola AP menutup Toko Barokah secara paksa. Selain itu, pengelola AP menggugat Azis di Pengadilan Negeri Palembang.
CONTOH KASUS PERIKATAN TENTANG JUAL BELI TANAH
• Kasus Jayeng BANDUNG
Akta jual beli tanah Jayeng dari ahli waris Tasrip kepada pemilik Hotel Guma, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayeng beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Asya, ahli waris Tasrip, kepada Hendra Soegi, pemilik Hotel Guma.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasrip tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayeng, di Balai Kota.
Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayeng mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
TakMemutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayeng, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Guma merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Guma), dan warga Jayeng,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayeng. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 9 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Guma bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mafu Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Guma. Bahkan, beberapa waktu lalu Mafu mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Mafu memperihatinkan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayeng pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayeng terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi perihatin,” ujarnya.
A. Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) dibuka
dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk
memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara
persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota
Jakarta itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT
Kramat Jati Plaza adalah Adam Malik, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
Adam memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2
Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi
Furniture. Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola
KJP mengajak Adam membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.
Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service
Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa
ruangan. Adam bersedia membayar semua kewajibannya pada PT KJP,
tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran
disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan
pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT KJP dengan Adam dilakukan
dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi
perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Adam
ternyata tidak pernah dipenuhi, Adam menganggap kesepakatan itu sekedar
formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola KJP tidak pernah
dipedulikannya. Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku
karena pihak KJP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang
diberikan untuk menunda pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin
akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991. Namun pengelola KJP
berpendapat sebaliknya. Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan
tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT KJP. Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola KJP, yang mengajak Adam meramaikan pertokoan itu.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT KJP. Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya. Pengelola KJP, yang mengajak Adam meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola
KJP menutup COMBI Furniture secara paksa. Selain itu, pengelola KJP
menggugat Adam di Pengadilan Negeri Jakarta.
B. Konsep Hukum Perdata Tentang Perikatan (Perjanjian)
1. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan KHU Perdata, macam-macam perikatan
diuraikan sebagai berikut :
1.
Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian
dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Sehingga
perjanjian seperti ini akan terjadi jika syarat-syarat yang ditentukan itu
terjadi.
2.
Perikatan dengan ketetapan waktu
Suatu perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan
sampai pada waktu yang ditentukan. Sehingga segala kewajiban oleh pihak yang
terikat tidak dapat ditagih sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba.
3.
Perikatan Alternatif
Suatu perikatan
yang mana debitor dalam memenuhi kewajibannyadapat memilih salah satu diantara
yang telah ditentukan.
4.
Perikatan Tanggung-menanggung
Dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang
berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
5.
Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
Suatu perikatan dimana setiap debitor
hanya bertanggungjawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya.
6.
Perikatan dengan ancaman hukuman
Suatu perikatan
dimana seseorang untuk jaminan pelaksanaan diwajibkan melakukan sesuatu jika
perikatan itu tidak dipenuhi.
2. Berakhirnya Perikatan
Undang-undang
menyebutkan ada sepuluh macam cara terhapusnya perikatan, yaitu antara lain :
Karena pembayaran, pembaharuan hutang, penawaran
pembayaran tunai, diikuti oleh penitipan, kompensasi atau perjumpaan hutang,
percampuran hutang, pembebasan hutang, hapusnya barang yang dimaksudkan dalam
perjanjian, pembatalan perjanjian, akibat berlakunya syarat pembatalan dan
sudah lewat waktu.
3. Sistem pengaturan hukum perikatan
Sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersifat
terbuka, artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik
yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam UU. Hal ini dapat disimpulkan
dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi “semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para
pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan
siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik
tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam
menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan perbuatan yang melawan
hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan perbuatan melawan hukum
sebagai berikut :
- Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang dirumuskan dalam
UU
- Bertentangan dengan kesusilaan
- Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat,
aturan kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah orang lain
terjerumus dalam bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan orang
lain ketika hendak menyelenggarakan kepentinagn sendiri.
C. Analisis kasus
Setelah
pihak PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) mengajak Adam Malik untuk meramaikan
sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Jakarta, maka secara
tidak langsung PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) telah melaksanakan kerjasama
kontrak dengan Adam malik yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa
di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut
maka pihak PT KJP dan Adam Malik mempunyai keterikatan untuk memberikan
atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena
perjanjian yang telah dilakukan oleh PT KJP dan Adam Malik tersebut dianggap
sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW.
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang halal.
Perjanjian
diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan, karena pihak PT KJP dan Adam
Malik dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa
yang diajukan oleh pihak PT KJP yang dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun pada kenyataannya, Adam Malik tidak pernah
memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT KJP, dia
tidak pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia
tetap berisi keras untuk tidak membayarnya. Maka dari sini Adam Malik
bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT KJP setempat melakukan
penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Adam Malik di Pengadilan
Negeri Jakarta. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW,
tindakan Pihak PT KJP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan
bahwa : Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala
sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta
supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang
telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT KJP bisa menuntut
kepada Adam Malik yang tidak memenuhi suatu perikatan/perjanjian dan dia dapat
dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Kramat Jati Plaza.