Minggu, 06 November 2016

contoh kasus hukum perikatan

  CONTOH KASUS HUKUM PERIKATAN

A. Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Abdi Pamungkas(PT AP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya.  Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Palembang itu.  Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT Abdi Pamungkas adalah Azis Ismail, yang tinggal di Manggarai-Jakarta.
Azis memanfaatkan ruangan seluas 794,31 M2 Lantai III itu untuk menjual Baju Muslim dengan nama Toko Barokah.  Enam bulan berlalu Azis menempati ruangan itu, pengelola AP mengajak Azis membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.  Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.  Azis bersedia membayar semua kewajibannya pada PT AP, tiap bulan terhitung sejak Juni 1998 s/d 30 Mei 2008 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 15 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.  Kesepakatan antara pengelola PT AP dengan Azis dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1998.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian.  Kewajiban Azis ternyata tidak pernah dipenuhi, Azis menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola AP tidak pernah dipedulikannya.  Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak AP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran.  Hanya sewa ruangan, menurut Azis akan dibicarakan kembali di akhir tahun 2001.  Namun pengelola AP berpendapat sebaliknya.  Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 2001, Azis seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT AP.  Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Azis tetap berkeras untuk tidak membayarnya.  Pengelola AP, yang mengajak Azis meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola AP menutup Toko Barokah secara paksa.  Selain itu, pengelola AP menggugat Azis di Pengadilan Negeri Palembang.

CONTOH KASUS PERIKATAN TENTANG JUAL BELI TANAH
• Kasus Jayeng BANDUNG
Akta jual beli tanah Jayeng dari ahli waris Tasrip kepada pemilik Hotel Guma, dinilai cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayeng beserta bangunan yang berdiri di atasnya dijual oleh Asya, ahli waris Tasrip, kepada Hendra Soegi, pemilik Hotel Guma.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasrip  tidak pernah mengambil uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan, bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam pertemuan membahas kasus sengketa Jayeng, di Balai Kota.
Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan tersebut, warga Jayeng mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100 Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH. Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
TakMemutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat memutus sewa-menyewa. Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayeng, menurut Ali, hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Guma merasa memiliki bukti kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan. ”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan. Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red), pemilik kedua (pemilik Hotel Guma), dan warga Jayeng,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayeng. Saat ini, ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya, pada 9 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih. Saat itu pemilik Hotel Guma bersedia memberi kompensasi sebesar Rp 300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp 1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mafu Ali mengatakan, Pemkot sudah berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Guma. Bahkan, beberapa waktu lalu Mafu mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata dia.
Pada kesempatan itu, Mafu memperihatinkan aksi pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayeng pada unjuk rasa beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk membuat kasus Jayeng terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi perihatin,” ujarnya.




























A. Kronologis Kasus
Pada permulaan PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola merasa kesulitan untuk memasarkannya.  Salah satu cara untuk memasarkannya adalah secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di pusat kota Jakarta itu.  Salah seorang diantara pedagang yang menerima ajakan PT Kramat Jati Plaza adalah Adam Malik, yang tinggal di Sunter-Jakarta.
 Adam memanfaatkan ruangan seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah tangga dengan nama Combi Furniture.  Empat bulan berlalu Tarmin menempati ruangan itu, pengelola KJP mengajak Adam membuat “Perjanjian Sewa Menyewa” dihadapan Notaris.  Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut dengan sewa menyewa ruangan.  Adam  bersedia membayar semua kewajibannya pada PT KJP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari untuk kelambatan pembayaran.  Kesepakatan antara pengelola PT KJP dengan Adam dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal 8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Adam ternyata tidak pernah dipenuhi, Adam menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas, sehingga tagihan demi tagihan pengelola KJP tidak pernah dipedulikannya.  Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak KJP telah membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda pembayaran.  Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali di akhir tahun 1991.  Namun pengelola KJP berpendapat sebaliknya.  Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum pada Akta tersebut.

                        Hingga 10 Maret 1991, Tarmin seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT KJP.  Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya.  Pengelola KJP, yang mengajak Adam meramaikan pertokoan itu.

Pihak pengelola KJP menutup COMBI Furniture secara paksa.  Selain itu, pengelola KJP menggugat Adam di Pengadilan Negeri Jakarta.

B. Konsep Hukum Perdata Tentang Perikatan (Perjanjian)
1. Macam-macam Perikatan
Berdasarkan KHU Perdata, macam-macam perikatan diuraikan sebagai berikut :
1.      Perikatan Bersyarat
Suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian dikemudian hari yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Sehingga perjanjian seperti ini akan terjadi jika syarat-syarat yang ditentukan itu terjadi.
2.      Perikatan dengan ketetapan waktu
Suatu perikatan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai pada waktu yang ditentukan. Sehingga segala kewajiban oleh pihak yang terikat tidak dapat ditagih sebelum waktu yang diperjanjikan itu tiba.
3.      Perikatan Alternatif
Suatu perikatan yang mana debitor dalam memenuhi kewajibannyadapat memilih salah satu diantara yang telah ditentukan.

4.      Perikatan Tanggung-menanggung
Dimana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan atau sebaliknya.
5.      Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi
        Suatu perikatan dimana setiap debitor hanya bertanggungjawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya.
6.      Perikatan dengan ancaman hukuman
Suatu perikatan dimana seseorang untuk jaminan pelaksanaan diwajibkan melakukan sesuatu jika perikatan itu tidak dipenuhi.

2. Berakhirnya Perikatan
Undang-undang menyebutkan ada sepuluh macam cara terhapusnya perikatan, yaitu antara lain :
Karena pembayaran, pembaharuan hutang, penawaran pembayaran tunai, diikuti oleh penitipan, kompensasi atau perjumpaan hutang, percampuran hutang, pembebasan hutang, hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian, pembatalan perjanjian, akibat berlakunya syarat pembatalan dan sudah lewat waktu.
3. Sistem pengaturan hukum perikatan
Sistem pengaturan hukum perikatan adalah bersifat terbuka, artinya bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan perjanjian, baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam UU. Hal ini dapat disimpulkan dari ketentuan yang tercantum dalam pasal 1338 ayat 1 yang berbunyi “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Dari ketentuan pasal ini memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat atau tidak membuat perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, menemukan isi perjanjian dan bebas menetukan bentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis.
Dalam menentukan suatu perikatan, maka tidak boleh melakukan perbuatan yang melawan hukum. Sebagaimana dalam H.R. 1919 yang mengartikan perbuatan melawan hukum sebagai berikut :
  • Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku yang dirumuskan dalam UU 
  • Bertentangan dengan kesusilaan 
  • Bertentangan dengan kecermatan yang harus diindahkan dalam masyarakat, aturan kecermatan ini menyangkut aturan-aturan yang mencegah orang lain terjerumus dalam bahaya dan aturan-aturan yang melarang merugikan orang lain ketika hendak menyelenggarakan kepentinagn sendiri.

C. Analisis kasus
        Setelah pihak PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) mengajak Adam Malik untuk meramaikan sekaligus berjualan di komplek pertokoan di pusat kota Jakarta, maka secara tidak langsung PT Kramat Jati Plaza (PT KJP) telah melaksanakan kerjasama kontrak dengan Adam malik yang dibuktikan dengan membuat perjanjian sewa-menyewa di depan Notaris. Maka berdasarkan pasal 1338 BW yang menjelaskan bahwa “Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya” sehingga dengan adanya perjanjian/ikatan kontrak tersebut maka pihak PT KJP dan Adam Malik mempunyai keterikatan untuk memberikan atau berbuat sesuatu sesuai dengan isi perjanjian.
         Perjanjian tersebut tidak boleh dilangggar oleh kedua belah pihak, karena perjanjian yang telah dilakukan oleh PT KJP dan Adam Malik tersebut dianggap sudah memenuhi syarat, sebagaimana yang telah diatur dalam pasal 1320 BW. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
  • Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  • Suatu hal tertentu;
  •  Suatu sebab yang halal.

            Perjanjian diatas bisa dikatakan sudah adanta kesepakatan, karena pihak PT KJP dan Adam Malik dengan rela tanpa ada paksaan menandatangani isi perjanjian Sewa-menyewa yang diajukan oleh pihak PT KJP yang dibuktikan dihadapan Notaris.
Namun pada kenyataannya, Adam Malik tidak pernah memenuhi kewajibannya untuk membayar semua kewajibannya kepada PT KJP, dia tidak pernah peduli walaupun tagihan demi tagihan yang datang kepanya, tapi dia tetap berisi keras untuk tidak membayarnya.  Maka dari sini Adam Malik bisa dinyatakan sebagai pihak yang melanggar perjanjian.
Dengan alasan inilah pihak PT KJP setempat melakukan penutupan COMBI Furniture secara paksa dan menggugat Adam Malik di Pengadilan Negeri Jakarta. Dan jika kita kaitkan dengan Undang-undang yang ada dalam BW, tindakan Pihak PT KJP bisa dibenarkan. Dalam pasal 1240 BW, dijelaskan bahwa : Dalam pada itu si piutang adalah behak menuntut akan penghapusan segala sesuatu yang telah dibuat berlawanan dengan perikatan, dan bolehlah ia minta supaya dikuasakan oleh Hakim untuk menyuruh menghapuskan segala sesuatuyang telah dibuat tadi atas biaya si berutang; dengan tak mengurangi hak menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga jika ada alasan untuk itu.
Dari pasal diatas, maka pihak PT KJP bisa menuntut kepada Adam Malik yang tidak memenuhi suatu perikatan/perjanjian dan dia dapat dikenai denda untuk membayar semua tagihan bulanan kepada PT Kramat Jati Plaza.

hukum kontrak bisnis

   

MAKALAH
“Bea Materai”
Diajukan untuk memenuhi tugas Hukum Kontrak Bisnis Syariah








PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Salah satu cara mewujudkan peran serta masyarakat dalam  pembangunan nasional adalah memenuhi kewajiban pembayaran atas pengenaan bea materai terhadap dokumen-dokumen tertentu. Sebagaimana diatur dalam undang-undang nomor 36 tahun 2008.
Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan. Sedangkan bea materai terutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bresangkutan menentukan lain.
Apabila dokumen dibuat sepihak, maka bea materai terutang oleh penerima dokumen. Contoh kwitansi. Demikian pula halnya apabila dokumen dibuat oleh dua pihak atau lebih, maka masing-masing pihak terutang bea materai atas dokumen yang diterimanya. Contoh: surat perjanjian dibawah tangan. Jika surat perjanjian dibuat dengan akta notaries, maka bea materai yang terutang baik atas asli sahih yang disimpan notaries maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang mendapatkan manfaat dari dokumen tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
a. Pengertian Bea Materai
b. Sumber Hukum Bea Materai
c. Arti Penting Bea Materai
1.3 Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui pengertian bea materai
b. Untuk mengetahui sumber hukum bea materai
c. Untuk mengetahui arti penting bea materai




BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Bea Materai
Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No.13 Tahun 1985 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000, Bea Meterai adalah pajak atas dokumen yang digunakan oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Beberapa pengertian yang berhubungan dengan Bea Meterai bedasarkan Pasal 1 ayat 2 UU No.13 Tahun 1985 diantaranya:
a.       Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan
b.      Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI
c.       Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula parap, teraan Atau cap tandatangan atau cap parap, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan;
d.      Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya;
e.       Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.
2.2  Sumber Hukum Bea Materai[1]
Hukum yang mendasari hal hal yang berkaitan dengan Bea Meterai adalah Undang Undang No.13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai, yang berlaku sejak 1 Januari 1986. Yang berisi :
OBYEK, TARIF, DAN YANG TERHUTANG BEA METERAI
Pasal 2
(1)
Dikenakan Bea Materai atas dokumen yang berbentuk :
a.
Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata;
b.
akta-akta notaris termasuk salinannya;
c.
akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap - rangkapnya;
d.
surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) :
1)
yang menyebutkan penerimaan uang;
2)
yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank;
3)
yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank;
4)
yang berisi pengakuan bahwa hutang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungan;
e.
surat berharga seperti wesel, promes, aksep, dan cek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah);
f.
efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, sepanjang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).
(2)
Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah).
(3)
Dikenakan pula Bea Meterai sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) atas dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan :
a.
surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan;
b.
surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula;
(4)
Terhadap dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf d, huruf e, dan huruf f, yang mempunyai harga nominal lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah) dikenakan Bea Meterai dengan tarif Rp 500,- (lima ratus rupiah), dan apabila harga nominalnya
tidak lebih dari Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah) tidak terhutang Bea Meterai.
Pasal 3
Dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagimana dimaksud dalam Pasal 2.
Pasal 4
Tidak dikenakan Bea Meterai atas :
a.
dokumen yang berupa :
1)
surat penyimpanan barang;
2)
konosemen;
3)
surat angkutan penumpang dan barang;
4)
keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud
dalam angka 1), angka 2), dan angka 3);
5)
bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang;
6)
surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
7)
surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6).
b.
segala bentuk Ijazah;
c.
tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu;
d.
tanda bukti penerimaan uang Negara dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
e.
kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank;
f.
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g.
dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut;
h.
surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian;
i.
tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Pasal 5
Saat terhutang Bea Meterai ditentukan dalam hal :
a.
dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
b.
dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat;
c.
dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.
Pasal 6
Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
BAB III
BENDA, METERAI, PENGGUNAAN, DAN CARA PELUNASANNYA
Pasal 7
(1)
Bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, pengurusan, penjualan serta penelitian keabsahannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(2)
Bea Meterai atas dokumen dilunasi dengan cara :
a.
menggunakan benda meterai;
b.
menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
(3)
Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
(4)
Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tandatangan akan dibubuhkan.
(5)
Pembubuhan tandatangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tandatangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
(6)
Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tandatangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas.
(7)
Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
(8)
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
(9)
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sampai dengan ayat (8) tidak dipenuhi, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
Pasal 8
(1)
Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200%
(dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar.
(2)
Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilunasi Bea meterai yang terhutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian-kemudian.

Pasal 9
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah dilunasi Bea Meterai yang terhutang dengan cara pemeteraian-kemudian.
Pasal 10

Pemeteraian-kemudian atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3), Pasal 8, dan Pasal 9 dilakukan oleh Pejabat Pos menurut tata cara yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
BAB IV
KETENTUAN KHUSUS
Pasal 11
(1)
Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan :
a.
menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
b.
melekatkan dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
c.
membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dari dokumen yang Bea Meterai-nya tidak atau kurang dibayar;
d.
memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterai-nya.
(2)
Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.



Pasal 12

Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terhutang menurut Undang-undang ini daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat.
BAB V
KETENTUAN PIDANA
Pasal 13
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana :
a.
barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan memalsukan tandatangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
b.
barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak;
c.
barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tandatangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan hak;
d.
barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas - perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda
meterai.
Pasal 14
(1)
Barangsiapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana
penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
(2)
Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah kejahatan.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 15
(1)
Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar Bea Meterai-nya yang dibuat sebelum Undang-undang ini berlaku, Bea Meterainya tetap terhutang berdasarkan
Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921).
(2)
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur Menteri Keuangan.







Pasal 16

Selama peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921 (Zegelverordening 1921) yang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan tanggal 31 Desember 1988.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17

Pelaksanaan Undang-undang ini selanjutnya akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 18
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

2.3  Arti Penting Bea Materai